Sabtu, Mei 24, 2025

#24 Gula Darah dan Hormon

“Gula darah saya masih tinggi. Padahal saya sudah mengikuti semua saran di program ini,” keluh Pak Andi saat sesi pemantauan rutin di minggu kedua Metabolic Boot Camp. Wajahnya terlihat sedikit gusar, bercampur kebingungan. Saya tersenyum, mencoba menenangkan. Pak Andi bukan peserta pertama yang mengalami ini, dan saya tahu persis bahwa jawabannya tak sesederhana mengurangi karbohidrat atau gula.

Pak Andi, pria paruh baya dengan diabetes tipe 2, datang ke program ini dengan semangat tinggi. Ia rajin mencatat pola makannya, menimbang porsi makanan, bahkan sudah menolak tawaran kue ulang tahun anaknya minggu lalu. Tapi kenyataan bahwa gula darahnya masih bertahan di angka 200 mg/dL membuatnya merasa frustasi.

“Bapak sudah hebat sekali, mengikuti semua aturan. Tapi kadang, ada hal lain yang bermain di balik layar tubuh kita,” saya menjelaskan. Ya, metabolisme adalah hal kompleks. Di balik usaha keras memperbaiki pola makan, ada faktor lain yang bisa memengaruhi hasil, salah satunya adalah hormon.

Tubuh kita bukan hanya soal makanan yang masuk dan energi yang keluar. Ada orkestrasi rumit hormon yang mengatur segalanya. Di kasus Pak Andi, ada kemungkinan hormon-hormon tertentu mempersulit penurunan gula darah meskipun ia sudah melakukan banyak perbaikan.

Ketika saya bertanya lebih jauh, Pak Andi mengakui bahwa ia sedang mengalami tekanan kerja. “Saya sering terbangun jam 3 pagi, memikirkan laporan yang belum selesai. Saya juga harus begadang kalau kerja shift malam.” katanya sambil menghela napas.

Stres kronis memicu pelepasan kortisol, hormon stres yang dilepaskan oleh kelenjar adrenal. Kortisol ini membuat hati melepaskan glukosa tambahan ke dalam darah, seolah tubuh bersiap menghadapi bahaya. Dalam jangka pendek, ini bermanfaat, tetapi kalau berlangsung terus-menerus? Hasilnya gula darah yang tetap tinggi, walaupun pola makan sudah dijaga.

Saya menyarankan Pak Andi untuk mencoba teknik relaksasi sebelum tidur, seperti pernapasan dalam atau mendengarkan musik tenang. Stres mungkin tak bisa hilang sepenuhnya, tetapi cara kita mengelolanya bisa membuat perbedaan besar.

Glukagon adalah hormon yang bekerja berlawanan dengan insulin. Ketika kadar gula darah turun, glukagon memberi sinyal kepada hati untuk melepaskan lebih banyak glukosa. Masalahnya, pada penderita diabetes, glukagon kadang-kadang terlalu aktif, bahkan ketika tidak dibutuhkan. Akibatnya, gula darah tetap tinggi meskipun insulin bekerja keras.

“Jadi, tubuh saya seperti menyalakan lampu darurat padahal tidak perlu?” tanya Pak Andi. Saya mengangguk sambil tersenyum. Tubuh memang suka berlebihan dalam beberapa hal, terutama jika sudah lama berada dalam kondisi tidak seimbang.

Saya bertanya pada Pak Andi apakah gula darahnya lebih tinggi saat bangun pagi. Ternyata benar, angka gula darah puasa sering kali lebih tinggi daripada yang diharapkannya. Ini dikenal sebagai fenomena fajar (dawn phenomenon), di mana hormon pertumbuhan, kortisol, dan glukagon bekerja bersama untuk meningkatkan gula darah di pagi hari.

Hormon pertumbuhan, yang dilepaskan saat kita tidur, bisa mengurangi sensitivitas insulin dan meningkatkan gula darah. Ini adalah mekanisme tubuh untuk memastikan kita punya energi saat bangun, tetapi pada penderita diabetes, hasilnya bisa jadi bencana kecil.

Hormon seks seperti estrogen dan progesteron juga memengaruhi gula darah. Bagi banyak perempuan yang saya temui di program ini mengalami fluktuasi gula darah akibat perubahan hormon, terutama saat menstruasi atau menopause.

“Kalau hormon-hormon ini terus mengganggu, berarti usaha saya sia-sia dong?” tanya Pak Andi dengan nada khawatir. Saya segera menenangkannya. “Tidak sama sekali, Pak. Justru dengan memahami hal ini, kita bisa mengambil langkah yang lebih tepat.”

Ada beberapa langkah yang kami ambil bersama untuk membantu Pak Andi mengatasi hambatan ini:

  1. Mengelola Stres: Saya mengajak Pak Andi untuk mencoba meditasi sederhana dan berjalan santai setiap sore. Aktivitas ini bisa menurunkan kortisol secara alami.
  2. Olahraga Ringan tapi Konsisten: Saya sarankan ia mencoba latihan beban ringan untuk meningkatkan sensitivitas insulin.
  3. Memantau Gula Darah Secara Lebih Teratur: Dengan mengetahui pola fluktuasi gula darah, kami bisa melihat kapan tubuhnya “melawan” dan menyesuaikan strategi.
  4. Pola Tidur yang Lebih Baik: Saya menyarankan Pak Andi tidur lebih awal dan menghindari paparan layar gawai sebelum tidur untuk mengurangi pelepasan hormon pertumbuhan berlebih di malam hari.
  5. Pola Makan yang Fleksibel: Selain mengikuti pola Metabolic Boot Camp, kami menambahkan beberapa makanan kaya magnesium dan serat untuk membantu menenangkan sistem tubuhnya.

Seminggu setelah penyesuaian ini, Pak Andi datang dengan senyuman lebar. “Gula darah saya turun! Angkanya sudah di bawah 150 sekarang.” Ia terlihat jauh lebih tenang dan percaya diri. Saya ikut lega mendengar kabar baik itu.

Ini adalah pengingat bahwa perjalanan menuju kesehatan tidak selalu lurus dan mudah. Tubuh kita punya banyak mekanisme rumit yang saling berinteraksi. Memahami hormon yang memengaruhi gula darah adalah salah satu kunci penting untuk mengatasi hambatan yang muncul.

Jadi, jika Anda merasa usaha sudah maksimal tetapi hasilnya belum terlihat, jangan menyerah. Kadang, tubuh hanya butuh sedikit waktu dan pendekatan yang lebih personal. Seperti Pak Andi, perjalanan menuju kesehatan sejati selalu dimulai dengan langkah pertama: mau belajar tentang tubuh sendiri.

Anda juga bisa!

Salam Sehat.

Must Read